Berita KPU

Revisi Paket UU Pemilu Harus Masuk Prolegnas 2016

Sabtu, Maret 05, 2016 Visi Indonesia Proaktif 0 Comments

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mendesak agar revisi Paket UU Pemilu atau Kodifikasi UU Pemilu harus masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2016. Sebab, pada 2019, bangsa Indonesia akan menyelenggarakan Pemilihan Legislatif dan Pilpres secara serentak. “Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), pada 2019 kita akan menyelenggarakan pemilihan DPR, DPRD Provinsi maupun Kabupaten dan DPD serta pilpres secara serentak. Sementara desain pemilu kita masih memisahkan antara Pileg dan Pilpres,” ujar Titi, saat dihubungiSP, Senin (11/1).

Titi berpendapat, desain pileg dan pilpres berbeda, tentu mempunyai konsekuensi berbeda dengan desain pileg dan pilpres dilakukan secara serentak.

Dia mencontohkan, dalam UU Pilpres dikatakan bahwa dukungan terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden harus 20% kursi di parlemen dan/atau 25 suara sah.

“Kalau pileg dan pilpres dilakukan secara serentak, maka dukungan parlemen yang dimaksud mengacu kepada dukungan yang mana? Padahal, pileg dan pilpres dilakukan secara serentak. Selama ini, kan, pileg umumnya dilakukan duluan dari pilpres sehingga dukungan parlemennya bisa diketahui,” jelas Titi.

Dia menilai, desain undang-undang sekarang belum menjawab pileg dan pilpres secara serentak. Belum lagi, katanya, ada partai baru yang lolos ikut pileg dan pilpres 2019. Tentu dia tidak bisa mengacu pada dukungan parlemen.

Karena itu, dia menganjurkan agar revisi paket UU Pemilu dimasukkan dalam prolegnas 2016 agar direvisi secara cermat dan tidak terburu-buru.

Menurut dia, berdasarkan pengalaman selama ini, untuk revisi UU membutuhkan waktu 2 tahun atau sekitar 30 bulan, maka bisa diperkirakan bahwa revisi Paket UU Pemilu ini diterapkan dalam Pemilu 2019. “Maka kita dorong revisi Paket UU Pemilu masuk prolegnas 2016. Kita juga perlu meyakinkan parlemen bahwa ini menyangkut nasib parpol dalam menghadapi Pemilu 2019. Jika dilakukan tergesa-gesa bisa merugikan parpol sendiri,” katanya.

Sementara itu Ketua Lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif Veri Junaidi mendorong revisi Paket UU Pemilu masuk dalam prolegnas 2016. Dalam revisi tersebut, dia mendorong agar desain keserentakan pemilu perlu diubah.

“Kita mendesak revisi Paket UU Pemilu masuk prolegnas 2016 sehingga bisa menjadi payung hukum penyelenggaraan pemilu serentak 2019 sebagaimana diamanatkan dalam putusan MK,” ujar Veri, kepada SP, di Jakarta, Senin (11/1).

Pada 2019, kata Veri, bangsa Indonesia menyelenggarakan pileg baik DPR, DPRD (Provinsi maupun Kabupaten) dan DPD serta pilpres secara serentak. Namun Veri mendorong desainnya perlu diubah.

“Saya menganjurkan agar pileg DPR dan DPD diserentakkan dengan pilpres. Sementara pileg DPRD Provinsi dan Kabupaten diserentakkan dengan Pilkada sehingga ada pemilihan untuk rejim pemerintahan nasional dan ada pemilihan untuk rejim pemerintahan daerah,” jelas Veri.

Selain itu, lanjut dia, yang perlu diperhatikan adalah waktu revisi Paket UU Pemilu. Menurutnya, tahapan pilkada atau pemilu dijalankan dalam waktu 30 bulan. Karena itu, 2017, katanya harus sudah ada undang-undang yang mengatur pileg dan pilpresnya yang dilakukan secara serentak 2019.

“Karena itu, inisiasi awal 2016 perlu didorong revisinya. Kalau tidak, nanti terlambat,” katanya.

KPK Awasi

Sementara itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan mengawasi sidang perkara perselisihan hasil pilkada yang tengah bergulir di MK. “Iya, KPK melakukan pemantauan,” kata Kabag Pemberitaan dan Publikasi KPK, Priharsa Nugraha melalui pesan singkat, Minggu (10/1).

Priharsa menjelaskan, pemantauan ini dilakukan agar sidang itu tidak diwarnai aksi tindak pidana korupsi. Hal ini lantaran KPK untuk mencegah tindak pidana penyuapan terkait sengketa Pilkada yang menjerat Ketua MK, Akil Mochtar terulang kembali.

“Berkaca dari sejumlah kasus suap terkait sengketa pilkada yang pernah ditangani KPK, KPK berharap agar hal itu tidak terjadi lagi, karena sangat mencederai semangat demokrasi,” jelasnya.

Selain mencederai semangat demokrasi, Priharsa menambahkan, kepala daerah yang memenangi pertarungan dengan cara curang itu berpotensi melakukan korupsi. Pada akhirnya, masyarakat akan menjadi korban dari korupsi yang dilakukan para kepala daerah tersebut.

“Pemimpin daerah yang terpilih dengan cara-cara korup, besar kemungkinan akan memunculkan korupsi lainnya, yang ujung-ujungnya adalah masyarakat yang menjadi korban,” ungkapnya.

Untuk itu, KPK pun mengajak partisipasi masyarakat turut serta mengawasi jalannya persidangan sengketa hasil pilkada MK. Masyarakat, kata Priharsa, diimbau melaporkan kepada KPK jika menemukan adanya dugaan tindak pidana korupsi.

“KPK mengajak masyarakat juga ikut memantau,” imbuhnya.

Diketahui, MK telah menerima 147 permohonan sengketa pilkada dari 132 daerah. Sebanyak 128 permohonan diajukan oleh calon bupati dan wakil bupati.

Sementara 11 permohonan perkara diajukan calon wali kota dan wakil wali kota, sedangkan enam permohonan lainnya diajukan calon gubernur dan wakil gubernur, serta satu perkara diajukan pemantau pilkada.

0 Post a Comment: