Tampilkan postingan dengan label Cakepda. Tampilkan semua postingan

Benarkah Seorang Agus Harimurti Yudhoyono Adalah Anak Ingusan ?


PILKADA.OR.ID - Beberapa hari yang lalu, seorang analis politik mengatakan bahwa Agus H. Yudhoyono masih anak ingusan. Saya tidak faham apakah yang dikatakan Ikrar Nusa Bhakti itu adalah dikarenakan Agus adalah yang termuda diantara Calon Gubernur DKI dibandingkan dengan usia Ahok dan Anies baswedan yang keduanya tentu masih bisa disebut muda tetapi tentu tidak tepat disebut INGUSAN.


Tetapi apa yang disampaikan oleh pengamat tersebut tidaklah berkaitan dengan umur. Sebelumnya Ikrar dalam sebuah wawancara mengatakan, level Agus yang juga putra sulung SBY di politik maupun kemiliteran masih minim. Padahal, selama ini gubernur DKI yang berlatar militer selalu berpangkat Letnan Jenderal. Misalnya, Ali Sadikin, Tjokropranolo, hingga Sutiyoso"

Sedangkan Agus Yudhoyono baru berpangkat mayor. Ikrar pun menyebut Agus masih ingusan untuk bersaing di Pilkada ibu kota negara. “Buat saya ngaco aja sih. Dia mau jadi panutan. Panutan apa anak masih ingusan gitu?” ujar Ikrar di Jakarta, (Pojoksatu Jumat (23/9)).


Menurut pendapat saya yang awam dibidang politik (maknanya bukan analis politik), apa yang disebut Ikrar tersebut diatas tidaklah benar baik dari sisi usia ataupun aspekta yang lain, yang paling tidak benar adalah bahwa Agus Yudhoyono tidak bisa dibandingkan dengan Ali Sadikin, Tjokropranolo ataupun Setyoso, mengapa?. Karena saat ketiganya tampil sebagai Gubernur DKI prosesinya adalah melalui pengangkatan dan bukan pilihan, sementara jenjang kepangkatan Militer tidak disebut didalam Undang Undang Pilkada, tetapi batasan umur dengan jelas ditetapkan, yang bermanka Agus Yudhoyono sudah sangat pantas untuk tampil karena sudah memenuhi kriteria umur yang ditentukan dalam undang undang.
Ikrar Nusa Bhakti yang memang sudah jauh lebih tua dari Agus Yudhoyono, mungkin saja membandingkan Agus dengan kedua competitornya AHOK dan ANIES yang memang lebih tua dibandingkan dengan Agus, tetapi lebih tua tidak bermakna lebih berpengalaman, karena masing-masing calon tentu bisa disebut sebagai pendatang baru di Pilkada DKI dalam posisinya sebagai "Calon Gubernur", bahkan untuk AHOK sekalipun, dia yang saat ini menjabat sebagai Gubernur DKI sebelumnya adalah Wakil Gubernur terpilih saat Jokowi sebagai Gubernur terpilih. Ahok memang pernah mencalonkan diri di daerahnya sebagai Gubernur tetapi tidak terpilih, sementara Anies Baswedan juga pendatang baru yang tidak bisa disebut sebagai sosok dengan dengan segudang pengalaman, karena memang Anies juga masih muda, dan pengalamannya hanya pada saat dia adu nasib di penjaringan calon pemimpin Partai Demokrat, kemudian sebagai salah satu team sukses Pilpres Jokowi - Kalla dan diangkat menjadi Menteri Pendidikan yang tidak diselesaikannya karena diganti oleh Presiden, kemudian seperti yang diketahui dia menjadi Cagub DKI karena ditetapkan oleh Jenderal Prabowo yang notabene musuh politik pada saatnya, dalam pada itu sebagai akademisi Anies Baswedan pernah duduk sebagai Rektor Universitas Paramadina yang cikal  bakalnya adalah Almarhum Nurcholis Majid, namun saya sama sekali tidak pernah mendengar kehebatannya saat menjadi Rektor, maknanya Anies juga biasa biasa saja.
Yang benar adalah bangsa ini harus memberi kesempatan kepada Pemuda untuk tampil dalam kancah kemimpinan, baik di daerah ataupun di tingkat Nasional, karena jaman sudah menuntut Pemuda untuk berkiprah, dan usia 38 tahun adalah usia yang cukup matang untuk memulai karir sebagai politisi di negeri ini (sama dengan saat Anies Bswedan diangkat sebagai Rektor Universitas Paramadina), karena dahulu di negara lain ada juga sosok pemuda mantan Militer yang sampai di akhir hayatnya menggoncangkan dunia, siapa yang tidak kenal Letkol Qaddafi?. Dialah satu-satunya pemimpin yang berhasil memakmurkan negerinya dan mensejahterakan rakyatnya dengan caranya tentu di dalam memimpin. Jika kemudian terdapat sesuatu yang menimpanya, dalam sekejap Rakyat Lybia sudah merindukannya karena keporak porandaan Lybia. Yang jelas Agus Yudhoyono bukan anak ingusan yang tidak sanggup melawan pesaingnya.
Bagi saya pribadi karir cemerlangnya di militer dan well educatednya tidaklah menjadi sesuatu yang membuat saya tidak menyebutnya sebagai ingusan, tetapi Agus sebagai anak Presiden SBY, Cucu Jenderal sarwo Edhy telah mengikuti kata hatinya, mengorbankan karir militer dengan menerima pencalonannya sebagai CALON GUBERNUR. Jika Agus masih ingusan maka dia tidak akan menerima pencalonan ini, karena karir militernya akan membawanya ke jenjang kepangkatan yang lebih tinggi JENDERAL dan banyak yang bisa dijabat saat pangkatnya sudah Jenderal.
Sementara menjadi "Calon Gubernur" Agus Yudhoyono bisa saja kalah walau kemungkinan besar akan menang, antara kalah dan menang sajalah pilihannya, dan tentu pilihan sadar ini tidak akan diputuskan oleh "Pemuda Ingusan", saya kemudian ingat apa pesan Bung Karno: "Berikan aku 1000 anak muda maka aku akan memindahkan gunung tapi berikan aku 10 pemuda yg cinta akan tanah air maka aku akan menguncang dunia." Ironi jika sosok seperti Ikrar menyebut Agus H. Yudhoyono sebagai anak ingusan?.
Bagi saya Agus Yudhoyono bukan saja akan mampu memperbaiki Jakarta tetapi juga Indonesia " Agus Yudhoyono will become a Young Leader  Who is  Creating A Better Jakarta and Indonesia". Insyaallah .....
Oleh: Datuk Agung Sidayu

Basuki Tjahaja Purnama Calon Gubernur DKI Jakarta 2017 - 2022

PILKADA.OR.ID - Basuki Tjahaja Purnama (EYD: Basuki Cahaya Purnama, nama Tionghoa: Zhōng Wànxué / 鍾萬學,[2] lahir di Manggar, Belitung Timur, 29 Juni1966; umur 50 tahun), atau paling dikenal dengan panggilan Hakka Ahok (阿學), adalah Gubernur DKI Jakarta yang menjabat sejak 19 November 2014.
Pada 14 November 2014, ia diumumkan secara resmi menjadi Gubernur DKI Jakarta pengganti Joko Widodo, melalui rapat paripurna istimewa di Gedung DPRD DKI Jakarta.[3] Basuki resmi dilantik sebagai Gubernur DKI Jakarta oleh Presiden Joko Widodo pada 19 November 2014 di Istana Negara, setelah sebelumnya menjabat sebagai Pelaksana Tugas Gubernur sejak 16 Oktober hingga 19 November 2014.[4][5]
Purnama merupakan warga negara Indonesia dari etnis Tionghoa dan pemeluk agama Kristen Protestan pertama yang menjadi Gubernur DKI Jakarta. Sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta pernah dijabat oleh pemeluk agama Kristen KatolikHenk Ngantung (Gubernur DKI Jakarta periode 1964-1965).
Basuki pernah menjabat sebagai Wakil Gubernur DKI dari 2012-2014 mendampingi Joko Widodo sebagai Gubernur. Sebelumnya Basuki merupakan anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014 dari Partai Golkar namun mengundurkan diri pada 2012 setelah mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI Jakarta untuk Pemilukada 2012.[6] Dia pernah pula menjabat sebagai Bupati Belitung Timur periode2005-2006. Ia merupakan etnis Tionghoa pertama yang menjadi Bupati Kabupaten Belitung Timur.
Pada tahun 2012, ia mencalonkan diri sebagai wakil gubernur DKI berpasangan dengan Joko Widodo, wali kota Solo. Basuki juga merupakan kakak kandung dari Basuri Tjahaja PurnamaBupati Kabupaten Belitung Timur (Beltim) periode 2010-2015. Dalam pemilihan gubernur Jakarta 2012, mereka memenangkan pemilu dengan presentase 53,82% suara. Pasangan ini dicalonkan oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan(PDI-P) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Pada 10 September 2014, Basuki memutuskan keluar dari Gerindra karena perbedaan pendapat pada RUU Pilkada. Partai Gerindra mendukung RUU Pilkada sedangkan Basuki dan beberapa kepala daerah lain memilih untuk menolak RUU Pilkada karena terkesan "membunuh" demokrasi di Indonesia.
Pada tanggal 1 Juni 2014, karena Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo mengambil cuti panjang untuk menjadi calon presiden dalam Pemilihan umum Presiden Indonesia 2014, Basuki Tjahaja Purnama resmi menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta. Setelah terpilih pada Pilpres 2014, tanggal 16 Oktober 2014 Joko Widodo resmi mengundurkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta. Secara otomatis, Basuki menjadi Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta.[7] Basuki melanjutkan jabatannya sebagai Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta tanpa dukungan partai (independen)[8] hingga pun dirinya dilantik sebagai Gubernur DKI pada 19 November 2014.

Deklarasi Ahok - Djarot Kacaukan Hitungan Lawan Politik


PILKADA..OR.ID - Pengamat politik dari Universitas Paramadina Toto Sugiarto meyakini, deklarasi pasangan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok dengan Djarot Syaiful Hidayat selaku calon petahana oleh PDIP mengacaukan hitung-hitungan lawan politik yang sejauh ini belum memiliki calon yang pasti diusung pada Pilgub DKI.

"Pasangan Ahok-Djarot tentu menjadi lawan tangguh bagi siapa pun. Diperlukan strategi yang luar biasa untuk mengalahkannya. Kondisi politik lawan seperti Koalisi Kekeluargaan tentu semakin melemah, mereka juga kesulitan menemukan calon alternatif," kata Toto, kepada SP, di Jakarta, Selasa (20/9) pagi.

Menurutnya, Ahok-Djarot berada dalam posisi kuat setelah PDIP mengusungnya. Secara matematis, PDIP merupakan parpol yang paling kuat di DKI sekarang ini. Masuknya PDIP ke gerbong Golkar, Hanura, dan Nasdem menutup peluang parpol lain dari Koalisi Kekeluargaan untuk bergabung.

Toto mengatakan, figur petahana di Pilgub DKI juga diuntungkan oleh karakter pemilih Ibu Kota yang cenderung lebih rasional dalam memilih sebagaimana yang terjadi pada Pilgub DKI tahun 2012. Pada 2012 pasangan Jokowi-Ahok menang mengalahkan pasangan-pasangan lain termasuk petahana karena pemilih DKI selain melihat figur juga mengukur kinerja.

Jika dibandingkan dengan fakta sekarang ini, ‎belum ada calon yang mampu menandingi elektabilitas Ahok sehingga menjadi wajar apabila parpol-parpol lain kesulitan menemukan pasangan calon untuk berkontestasi.

"Calon petahan semakin diuntungkan karena mesin PDIP dalam pilkada DKI sangat kuat. Dipasangkannya Ahok-Djarot memudahkan keduanya melengang kencang. Jangan lupa, Pilgub DKI merupakan modal awal untuk Pilpres 2019 karena Pilgub DKI merupakan barometer untuk pemenangan di daerah lainnya," kata Toto.

Toto memprediksi ‎parpol-parpol lain yang tidak mendukung atau ikut mengusung petahana sekarang ini berupaya keras menemukan figur melawan Ahok. Sementara sosok pengusaha sekaligus kader Partai Gerindra Sandiaga Uno belum mampu menyamai elektabilitas Ahok.

Nama-nama besar yang digadang-gadang menjadi bakal calon seperti Yusril Ihza Mahendra dan Rizal Ramli juga belum mendapatkan kendaraan politik untuk maju. Sebab, tidak semua parpol berambisi memenangi Pilkada DKI karena hanya ingin mengambil untung dalam pencalonan.

"Sedangkan untuk parpol yang berambisi menguasai DKI sangat berat. Gerindra misalnya, harus benar-benar mampu mengatrol Sandiaga ini. Ini kerja besar dan sulit," ujarnya.