Kepemimpinan Daerah,

GAYA KEPEMIMPINAN BUPATI DALAM OTNOMI DAERAH

Jumat, Maret 11, 2016 Visi Indonesia Proaktif 0 Comments

Peran Kepemimpinan dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah


Dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 telah diamanahkan bahwa tugas dan kewenangan sebagian urusan pemerintahan diserahkan kepada daerah melalui desentralisasi kewenangan dan dengan memperkuat otonomi daerah. Di era Otonomi daerah menuntut adanya keterbukaan, akuntabilitas, ketanggapan, dan kreatifitas dari segenap aparatur Negara, sehingga peran kepemimpinan sangat dibutuhkan.

Dalam negara dunia yang penuh kompetisi, sangat diperlukan kemampuan seorang pemimpin dan sumber daya aparatur untuk memberikan tanggapan atau responsive terhadap berbagai tantangan secara akurat, bijaksana, adil dan efektif.


Munculnya partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan politik merupakan konsekwensi dari komitmen terhadap demokrasi, sehingga perlu diupayakan agar pemimpin dalam otonomi daerah dapat membangkitkan partisipasi dari seluruh lapisan masyarakat dalam program-program pemerintah. Layanan kepada masyarakat tidak, semata-mata berdasar pada pertimbangan efisiensi, tetapi juga unsur kebersamaan (equality). Dengan demikian perlunya kesetaraan antara nilai efisiensi dan demokrasi, khususnya dalam penyelenggaraan otonomi daerah.
Memasuki perubahan dunia yang begitu cepat, kita dihadapkan paling tidak dua tantangan, yaitu tantangan perubahan dari masyarakat agraris kemasyarakat industri , dan tantangan dalam menerima arus perubahan peradaban masyarakat pasca Industri. Kondisi ini pada akhirnya melahirkan berbagai tuntutan baru masyarakat dan lingkungannya terhadap perubahan dan penyusuaian paradigma dan praktek kepemimpinan dalam pemerintahan dan pembangunan.
Menurut J. Kaloh, (2002,194) mengemukakan bahwa dalam pengembangan kemampuan kepemimpinan khususnya Sumber daya aparatur dalam era otonomi daerah diperlukan pengembangan sifat-sifat sebagai berikut :


1. Kemampuan untuk mengembangkan jaringan-jaringan kerja sama (network), Networking diperlukan oleh karena manusia tidak lagi hidup terpisah-pisah tetapi berhubungan satu sama lain. Manusia hidup tanpa sekat, sehingga yang dapat survive adalah manusia yang ahli dalam networking. Dunia perdagangan bebas akan semakin lancar apabila ada network.

2. Kemampuan kerjasama (teamwork). Setiap orang dalam masyarakat mempunyai kesempatan untuk mengembangkan keunggulan spesifikasinya. Kepemimpinan yang telah mengembangkan spesifikasinya akan dapat membangun suatu teamwork yang pada gilirannya dapat menghasilkan kerja yang unggul terutama dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat.

3. keinginan melakukan kerja yang berkualitas tinggi. Seorang pemimpin adalah mereka yang terus menerus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan sesuatu sehingga kualitas yang dicapai had ini akan ditingkatkan hari esok dan seterusnya. Otonomi daerah menghendaki adanya peran kepemimpinan yang maksimal dalam memacuh dan mengembangkan daerahnya demi tercapainya kesejahteraan masyarakat.

Harus diterima bahwa peranan kepemimpinan dalam organisasi sangat sentral dalam usaha pencapaian tujuan dan berbagai sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya, kemudian efektifitas kepemimpinan dari seorang pemimpin merupakan suatu hal yang sangat didambakan oleh semua pihak yang berkepentingan dalam keberhasilan kepemimpinan tersebut.
Salah satu kriteria efektifitas kepemimpinan adalah kemampuan dalam pengambilan keputusan. Yang dimaksud dengan kemampuan dalam mengambil keputusan tidak terutama diukur dengan ukuran kuantitatif, dalam arti jumlah keputusan yang diambil , tetapi jumlah keputusan yang diambil yang bersifat praktis, realistic dan dapat dilaksanakan serta memperlancar usaha pencapaian tujuan organisasi.
Menurut Siagian, (1988;47) dalam menjalankan kepemimpinan menuju tercapainya tujuan organisasi diperlukan lima fungsi-fungsi kepemimpinan adalah sebagai berikut :
1. Pemimpin sebagai Penentuh Arah

Kemampuan pimpinan sebagai penentu arah yang hendak dicapai dimasa depan merupakan saham yang teramat penting dalam kehidupan organisasi strategi, taktik dan teknik clan keputusan operasional yang diambil pemimpin yang tidak tepat akan mengakibatkan organisasi bergerak pada arah yang tidak benar, yang apabila dibiarkan berlanjut, bukan hanya akan merugikan organisasi yang bersangkutan, akan tetapi akan merupakan ancaman bagi kelangsungan hidup organisasi tersebut.

Dengan peskataan lain, arah yang hendak dicapai oleh organisasi menuju tujuannya harus sedemikian rupa sehingga mengoptimalkan pemamfaatan dari segala sarana dan prasarana yang tersedia. Arah yang dimaksud tertuang dalam strategi clan taktik yang disusun dan dijalankan oleh organisasi. Perumusan strategi dan taktik tersebut adalah pimpinan dalam organisasi.
2. Pemimpin Sebagai Wakil dan Juru Bicara Organisasi

Kebijaksanaan dan kegiatan organisasi perlu dijelaskan kepada berbagai pihak dengan maksud agar berbagai pihak mempunyai pengertian yang tepat tentang kehidupan organisasi yang bersangkutan. Pengertian yang tepat diharapkan bermuara pada pemahaman dan pemberian dukungan yang diperlukan

3. Pemimpin sebagai komunikator yang efektif.

Pemeliharaan Hubungan baik keluar dan kedalam dilakukan melalui proses komunikasi, baik secara lisan maupun secara tertutis. Berbagai kategori keputusan yang telah diambil disampaikan kepada para pelaksana melalui jalur komunikasi yang terdapat dalam organisasi.
Tidak dapat disangka bahwa salah satu fungsi kepemimpinan yang hakiki adalah mampu berkomunikasi secara efektif. Demikian pentingnya komunikasi yang efektif itu dalam usaha peningkatan kemampuan memimpin seseorang sehingga dapat dikatakan bahwa penguasaan teknik teknik komunikasi dengan baik sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin. Hakekat berkomunikasi berarti mengalihkan suatu pesan dari satu pihak kepada pihak lain.

4. Pemimpin sebagai Mediator

Dalam kehidupan organisasi selalu saja ada situasi konflik yang harus diatasi, baik dalam hubungan keluar maupun hubungan kedalam organisasi. Pembahasan tentang fungsi pimpinan sebagai mediator difokuskan dalam penyelesaian konflik yang mungkin terjadi dalam satu organisasi.
Seorang pemimpin tidak akan membiarkan situasi konflik muncul dalam organisasi yang dipimpinnya tetapi berusaha secara cepat dan tepat untuk menanggulanginya sikap tersebut mutlak diambil sebab apabila tidak, citranya sebagai pemimpin akan rusak. Kepercayaan atas kepemimpinannya akan merosot dan bahkan mungkin hilang dan organisasi yang dipimpinya pun tidak akan mencapai tujuannya. Dengan demikin dapat dikatakan bahwa kemampuan dalam menjalankan fungsi kepemimpinan selaku mediator yang rasional, objektif, dan netral merupakan salah satu indicator efektifitas kepemimpinan seseorang.

5. Peranan Selaku Integrator


Merupakan kenyataan dalam kehidupan organisasi bahwa timbulnya kecenderungan berfikir dan bertindak berkotak-kotak dikalangan para anggota organisasi dapat diakibatkan oleh sikap yang positif, tetapi mungkin pula sikap yang negatif. Dikatakan dapat bersifat positif karena adanya lekat dan kemauan keras dikalangan para anggota organisasi yang tergabung dalam satu kelompok tertentu untuk berbuat seoptimal mungkin. Akan tetapi sikap yang demikian dapat mempunyai dampak negative bagi kehidupan organisasi apabila dalam usaha berbuat sebaik mungkin bagi organisasi, para anggota organisasi yang bersangkutan lupa bahwa keberhasilan satu kelompok yang bekerja sendirian belum menjamin keberhasilan organisasi sebagai keseluruhan.

Berdasarkan kondisi tersebut maka pimpinan organisasi harus berperan untuk melakukan integrasi diantara semua anggota kelompok dalam bekerja mencapai tujuan organisasi. Sehingga tidak terjadi sikap mementingkan kelompok tertentu dalam bekerja. Seorang pemimpin yang efektif harus mampu berperan selaku integrator untuk berfikir dan bertindak agar organisasi mampu mencapai tujuan dengan tingkat efisiensi, efektivitas dan produktivitas yang tinggi hanyalah organisasi yang bergerak sebagai satu totalitas.
Menurut J. Kaloh, (2002;116) mengemukakan bahwa dalam era otonomi daerah salah satu unsur terpenting yang harus diperhatikan oleh pemimpin adalah kemampuan bergelut dengan imajinasi dan kemungkinan-kemungkinan yang melahirkan hubungan-hubungan serta temuan-temuan baru yang bermakna tinggi, dengan berinteraksi pada gagasan-gagasan, orang, dan lingkungan hidup.
Unsur penting lain yang perlu diperhatikan kepemimpinan dalam pelaksanaan Otonomi Daerah adalah dibentuknya kreativitas yang tinggi dalam organisasi, seperti :

1. Pentingnya mendorong kreatifitas pegawai, agar mampu menciptakan sesuatu yang baru yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat.
2. Melakukan perubahan cara kerja tradisional menuju manajemen modem, pemerintahan yang bersih, akuntabilitas clan pemberdayan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan.

Disamping peran kepemimpinan tersebut diatas, tuntutan otonomi daerah juga menghendaki adanya kemampuan pimpinan dalam meningkatkan kemandirian daerah, pengembangan kebersamaan antara semua elemen masyarakat, peningkatan kualitas dalam komunikasi dan sikap, berusaha melakukan pengurangan pemborosan, menciptakan kepuasan kerja, penurunan pembiayaan yang dianggap kurang bermanfaat, mendorong peningkatan produktivitas masyarakat di semua sektor kehidupan usaha, peningkatan suasana kerja yang kondusif, mendorong ketertibatan pegawai dalam setiap aktivitas kerja secara maksimal, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam setiap pembangunan.
B. Konsep Kepemimpinan


Dalam pembahasan berbagai literatur antara kepemimpinan dan pemimpin seringkali dibahas secara bersamaan dan seringkali susah dibedakan antara keduanya. Sebelum membahas lebih jauh tentang kepemimpinan, maka terlebih dahulu akan dikemukakan beberapa definisi tentang pemimpin. Menurut Robert Roy dalam Siagian, (1991:51) pemimpin adalah orang yang mampu menggerakkan orang lain dalam mencapai tujuan, menurut Kartini Kartono, (1992 : 3) pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kemampuan akan kelebihan khususnya disatu bidang sehingga ia mampu mempengaruhi orang lain untuk bersama-sama melakukan aktivitas tertentu untuk mencapai suatu tujuan.

Kemudian menurut Sadly (1990:57) mengemukakan bahwa pemimpin can kepemimpinan merupakan dua istilah yang biasa dibedakan tetapi sama sekali tidak dapat dipisahkan, kedua-duanya dapat diumpamakan sebagai dua sisi mata uang yang sama. Pemimpin pengacuh pada orangnya/manusianya, sedangkan kepemimpinan terutama mengacuh pada sifat, gaya, perilaku dan seni. Seorang pemimpin dapat saja memiliki beberapa gaya kepemimpinan, namun demikian senantiasa pada diri seseorang pemimpin akan nampak gaya kepemimpinan yang paling menonjol.
Apabila suatu organisasi berjalan dengan lesu, orang sering mempersoalkan kepemimpinannya, memang jika kepemimpinan tidak tampak, sering dikatakan bahwa organisasi itu tidak mempunyai pemimpin. Kehadiran seseorang pemimpin dalam suatu organisasi ialah untuk menggerakkan orang-orang dalam organisasi untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
Kepemimpinan sulit didefinisikan secara tepat. Oleh karena itu, banyak pakar mencoba memperkenalkan defenisinya sesuai versi masing-¬masing. Misalnya, John priffner dalam Miftah Thoha (1994:46) memberikan defenisi kepemimpinan sebagai berikut : “kepemimpinan adalah seni untuk mengkoordinasikan dan memberikan dorongan terhadap individu atau kelompok untuk mencapai tujuan yang di inginkan”
Pendapat lain tentang definisi kepemimpinan dikemukakan oleh Dalton Mc. Farland dalam Sutarto (1995:43) memberikan defenisi sebagai berikut: “kepemimpinan adalah sebagai suatu proses dimana pimpinan di gambarkan akan memberikan perintah/pengarahan, bimbingan atau mempengaruhi pekerjaan orang lain dalam memilih dan mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Disamping itu Kapur (1994), mengemukakan pengertian kepemimpinan sebagai berikut : “kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi orang-orang lain dalam m kelompok agar bertindak untuk mencapai tujuan bersama”.
Howard H.Hoyt dalam Kartono (1983;49) mengemukakan bahwa Kepemimpinan adalah seni untuk mempengaruhi tingka laku manusia dalam memiliki kemampuan untuk membimbing. kemudian menurut George R.Terry dalam Kartono (1983 ;15) menyatakan bahwa yang dimaksud kepemimpinan adalah sebagai berikut : ” Kepemimpinan adalah kegiatan mempengaruhi orang-orang agar mereka suka berusaha mencapai tujuan¬tujuan kelompok.”
Kemudian menurut Soetopo dan Soemantri (1984;01) mengemukakan bahwa kepemimpinan adalah sebagai berikut : “Kepemimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh seseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong dan mengajak, menuntung, menggerakkan dan kalau perlu memaksa orang lain agar menerima pengaruh tersebut selanjutnya membuat sesuatu yang dapat membantu pencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu.”
Berdasarkan uraian tentang kepemimpinan yang telah dikemukakan di atas, maka secara sederhana dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses penerapan dan penggunaan kemampuan, kekuasaan dan wewenang seorang pemimpin dalam usaha untuk mengorganisir, menetapkan kebijaksanaan, mengambil keputusan dan memiliki kemampuan mengatasi berbagai masalah yang muncul dalam kelompoknya.
Dengan demikian unsur penting yang menonjol dalam kepemimpinan adalah :

1. Adanya sesuatu yang “lebih” pada diri seorang pemimpin
2. Adanya kelompok orang yang menjadi pengikut,
3. Adanya proses kerjasama dalam menjalankan aktivitas,
4. Adanya tujuan yang ingin dicapai.

Untuk memperjelas konsep kepemimpinan, maka berikut ini akan dikemukakan empat macam pendekatan kepemimpinan secara umum, yaitu pendekatan sifat, gaya, situasional, dan fungsional.
1. Pendekatan Sifat Kepemimpinan

Dalam pendekatan sifat (trait approach) atau juga disebut teori sifat. Digambarkan sifat-sifat kepemimpinan adalah kecerdasan, kedewasaan, dan keleluasaan hubungan sosial, motivasi diri dan dorongan berprestasi serta sikap hubungan kemanusiaan Thoha (1983).

2. Pendekatan Gaya Kepemimpinan.

Penelitian-penelitian yang bersumber pada pandangan gaya kepemimpinan (stylistic approach) pada umumnya memusatkan perhatiannya pada perbandingan antara gaya demokratik dan gaya perilaku otokratik. Pada dasarnya, ada tiga kategori gaya kepemimpinan yang dikembangkan oleh Lewin, Lippitt dan white, yaitu otokratik, demokratik, dan laisser-faire. Pendekatan gaya kepemimpinan ini dapat dijelaskan lebih lanjut pada pendapat Hersey dan Blanchard.

3. Pendekatan Situasional Kepemimpinan. Dalam pendekatan situasional (situational approach) faKtor-faktor determinan yang dapat membuat efektif suatu gaya kepemimpinan sangat bervariasi, tergantung pada situasi dimana pemimpin berada dan pada kepribadian pemimpin sendiri. Dalam pendekatan situasional yang menjadi penekanan adalah efektifitas dari suatu kelompok. Dalam teori ini dikatakan bahwa efektifitas suatu organisasi tergantung pada dua variabel yang saling berinteraksi, yaitu, sistem motivasi dari pemimpin dan tingkat atau keadaan yang meyenangkan dari situasi.
Situasi kepemimpinan digolongkan pada tiga dimensi: (1) hubungan pemimpin dengan anggota, yaitu bahwa pemimpin akan mempunyai lebih banyak kekuasaan dan pengaruh, apabila dapat menjalin hubungan yang baik dengan anggota-anggotanya. (2). struktur tugas, bahwa penugasan yang berstruktur baik, jelas, eksplisit, terprogram akan memungkinkan pemimpin lebih berpengaruh dari pada penugasan itu kabur, tidak jelas, dan tidak berstruktur dan (3). posisi kekuasaan, pemimpin akan mempunyai kekuasaan, dan berpengaruh lebih banyak apabila posisinya atau kedudukannya memperkenangkan memberi ganjaran, hukuman, mengangkat dan memecat, daripada tidak memiliki kedudukan seperti itu Salusu (1996).
4. Pendekatan fungsional kepemimpinan. Pendekatan fungsional mengambil asumsi bahwa sesuatu prilaku yang dapat memberi sumbangan pada pencapaian tujuan kelompok dapat dianggap sebagai kepemimpinan, tidak peduli siapa yang menampilkan perilaku tersebut.

Namun dalam penelitian ini fokus pembahasan lebih mengarah pada gaya kepemimpinan yaitu gaya kepemimpinan Direktif, konsultatif, partisipatif dan delegasi, dan fokusnya pada gaya kepemimpinan Bupati Bulukumba dalam era otonomi daerah sekarang ini.

C. Konsep Gaya Kepemimpinan Hersey dan Blanchard
Kepemimpinan memegang peranan penting dalam setiap aktivitas dalam organisasi terutama dalam proses pencapaian tujuan. Sebelum membahas lebih lanjut gaya kepemimpinan situasional dari Paul Hersey dan Kenneth H. Blanchard, maka akan dikemukakan tipe-tipe kepemimpinan dalam organisasi yang kemudian dikembangkan menjadi empat gaya kememimpinan situasional berdasarkan perilaku.

Menurut Sondang P.Siagian dalam Soewarno Handayaningrat (1986;73) mengemukakan tipe-tipe kepemimpinan sebagai berikut :

1. Tipe kepemimpinan Otokratis

Kepemimpinan otokratis adalah kepemimpinan yang lebih menganggap organisasi sebagai milik pribadi yang oleh orang lain hanya sebagai pelaksanaan atau hanya bekerja untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam organisasi. Adapun ciri-ciri dari tipe kepemimpinan Otokratis adalah sebagai berikut :
a. mengidentikkan antara tujuan pribadi dengan tujuan organisasi sama
b. menganggap organissi sebagai milik pribadi
c. menganggap bawahan sebagai alat semata-mata,
d. tidak mau menerima kritik, saran dan pendapat,
e. terlalu bergantung kepada kekuasaan formalnya;
f. dalam tindakan pergerakannya sering menggunakan approach yang mengandung unsur paksaan dan punitif (bersifat menghukum).

Dari sifat-sifat diatas jelas ter(ihat bahwa tipe pemimpin yang demikian tidak tepat untuk suatu organisasi modem di mana hak-hak asasi manusia yang menjadi bawahan itu harus dihormati.
2. Tipe Kepemimpinan Militeristis


Perlu diperhatikan terlebih dahulu bahwa yang dimaksud dengan seorang pemimpin tipe militeris berbeda dengan seorang pemimpin organisasi militer. Seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat :
a. dalam menggerakkan bawahan sistem perintah lebih sering digunakan ;
b. dalam menggerakkan bawahan senang tergantung kepada pangkat dan jabatannya;
c. senang kepada formalitas yang terlebih-lebihan;
d. menuntut disiplin yang tinggi dan kaku dari bawahannya;
e. sukar menerima kritikan dari bawahannya;
f. menggemari upacara-upacara untuk berbagai keadaan.
Terlihat pula dari sifat-sifat tersebut bahwa seorang pemimpin yang mititeristis bukan seorang pemimpin yang ideal.
3. Tipe Kepemimpin Paternalistis
Seorang pemimpin yang tergolong sebagai pemimpin yang paternalistik ialah seorang yang :
a. menganggap bawahannya sebagai manusia yang tidak dewasa;
b. bersikap terlalu melindungi (overly protective);
c. jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil keputusan;
d. jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengambil inisiatif;
e. jarang memberikan kesempatan kepada bawahannya untuk mengembangkan daya kreasi dan fantasinya;
f. sering bersikap maha tahu.

Harus diakui bahwa untuk keadaan tertentu, seorang pemimpin yang demikian sangat diperlukan, akan tetapi sifat-sifatnya yang negatif mengalahkan sifat- sifatnya yang positif.
Tipe pemimpin yang paternalistic banyak terdapat dilingkungan masyarakat yang masih bersifat tradisional, umumnya dimasyarakat yang agraris. Popularitas pemimpin yang patemastistik oleh beberapa factor, seperti :


a. Kuatnya ikatan primordial,
b. “Extended family System”.
c. Kehidupan masyarakat yang komunalistik,
d. Peranan adat istiadat yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat,
e. Masih dimungkinkannya hubungan pribadi yang intim antara seorang anggota masyarakat dengan anggota masyarakat lainnya.

4. Tipe Kepemimpinan kharismatik.

Hingga sekarang ini para sarjana belum berhasil menemukan sebab-sebab mengapa seorang pemimpin memiliki kharisma, yang diketahui ialah bahwa pemimpin yang demikian daya tarik yang amat besar dan karenanya umumnya mempunyai pengikut yang jumlahnya sangat besar, meskipun para pengikut itu sering pula tidak dapat menjelaskan mengapa mereka menjadi pengikut pemimpin itu.

Karena kurangnya pengetahuan tentang sebab musabab seorang menjadi pemimpin yang kharismatis, maka sering hanya dikatakan bahwa pemimpin yang demikian diberkahi dengan kekuatan gaib (Supernatural power) . kekayaan, umur kesehatan, profil tidak dapat dipergunakan sebagai kriteria untuk kharisma. Ghandi bukanlah seorang yang kaya. Iskandar Zulkarnaen bukanlah seorang yang fisik sehat. John F. Kennedy adalah seorang pemimpin yang memiliki kharisma, meskipun umurnya masih muda pada waktu terpilih menjadi presiden Amerika Serikat. Mengenai fropil, Ghandi tidak dapat digolongkan sebagai orang yang “ganteng”.

5. Tipe Kepemimpinan Demokratis

Pengetahuan tentang kepemimpinan telah membuktikan bahwa tipe pemimpin yang demokratislah yang paling tepat untuk organisasi modem karena :
a. dalam proses penggerakan bawahan selalu bertitik tolak dari pendapat bahwa manusia itu adalah mahluk yang paling mulia didunia
b. selalu berusaha mensingkronisasikan kepentingan dan tujuan pribadi dari para bawahannya;
c. pemimpin senang menerima saran, pendapat dan bahkan kritik-kritik dari bawahannya
d. selalu berusaha mengutamakan kerjasama dan teamwork dalam usaha mencapai tujuan;
e. dengan ikhlas memberikan kebebasan yang seluas luasnya kepada bawahannya untuk berbuat kesalahan yang kemudian dibanding dan diperbaiki agar bawahan itu tidak lagi berbaut kesalahan yang sama, akan tetapi lebih berani untuk berbuat kesalahan yang lain;
f. selalu berusaha untuk menjadikan bawahannya lebih sukses daripadanya;
g. berusaha mengembangkan kapasitas diri pribadinya sebagai pemimpin.

Secara implisit tergambar bahwa untuk menjadi pemimpin tipe demokratis bukanlah suatu hal yang mudah untuk dicapai. akan tetapi karena pemimpin yang demikianlah yang paling ideal, alangkah baiknya jika semua pemimpin berusaha menjadi seorang pemimpin yang demokratis.
Dalam hubungan ini perlu pula dikemukakan gaya dasar yang dimiliki oleh seorang pimpinan yang demokratik dengan karakteristik sebagai berikut :


1. Kemampuan memperlakukan organisasi sebagai suatu totalitas dengan menempatkan semua satuan organisasi pada peranan dan Proporsi yang tepat tanpa melupakan peranan satuan kerja strategic tertentu tergantung pada sasaran-sasaran yang ingin dicapai oleh organisasi yang bersangkutan pada satu kurun waktu tertentu,
2. Mempunyai presespsi yang holistic mengenai organisasi yang dipimpinnya
3. Menggunakan pendekatan yang integralistik dalam menjalankan fungsi-fungsi kepemimpinannya,
4. Menempatkan kepentingan organisasi sebagai keseluruhan diatas kepentingkan diri sendiri atau kepentingan kelompok tertentu dalam organisasi,
5. Menganut filsafat manajemen yang mengakui dan menjunjung tinggi harkat dan martabat para bawahannya sebagai makhluk politik, makhluk ekonomi, makhluk social dan sebagai individu yang mempunyai jati diri yang khas,
6. Sejauh mungkin memberikan kesempatan kepada para bawahannya berperan serta dalam proses pengambilan keputusan, terutama yang menyangkut tugas para bawahan yang bersangkutan.
7. Terbuka terhadap ide, pandangan dan saran orang-orang lain termasuk para bawahannya,
8. Memiliki prilaku keteladanan yang menjadikannya panutan bagi para bawahannya,
9. Bersifat rasional dan obyektif dalam menghadapi bawahan tertutama dalam menilai perilaku dan prestasi kerja orang lain,
10.Selalu berusaha menumbuhkan dan memelihara iklim kerja yang kondusif bagi inovasi dan kreatifitas bawahan.

Alvin Brown dalam bukunya “The social psychology of industry”, memberikan konsep Tipe-tipe Kepemimpinan yang terbagi menjadi 3 golongan besar.


Adapun tipe-tipe tersebut adalah sebagai berikut :

1. Yang pertama, disebut dengan pemimpin Otokratis yang mendasarkan atas kekuasaan pada tangan seseorang (a one man orchestra).

Pemimpin yang bersifat otokratis memperlihatkan ciri-ciri sebagai berikut: Dia memberikan perintah-perintah yang harus selalu diikuti, menentukan kebijaksanaan kelompok masyarakatnya tanpa sepengetahuan dengan mereka. Pemimpin tidak memberikan penjelasan secara terperinci (Deteiled) tentang rencana yang akan datang, tetapi sekedar hanya mengatakan kepada kelompok masyarakatnya , langkah-langkah yang harus mereka lakukan dan segera dijalankan.

Memberikan pujian bagi mereka selalu menurut kehendaknya dan melontarkan kritik kepada mereka yang tidak mau mengikuti kehendaknya. la selalu jauh dengan kelompok masyarakat sepanjang masa.


2. Yang kedua, disebut tipe Pemimpin Demokratis, yang hanya memberikan perintah setelah mengadakan konsultasi dahulu dengan kelompok masyarakatnya. la mengetahui bahwa kebijaksanaannya hanya dapat dilakukan setelah dibicarakan dan diterima oleh kelompok masyaraktnya. la tidak akan meminta anggota-anggota masyaraktnya mengerjakan sesuatu, tanpa terlebih dahulu rriemberitahukan rencananya yang akan mereka lakukan, baik atau bunrk, benar atau salah adalah persoalan kelompoknya dimana masing-masing ikut serta bertanggung jawab sebagai anggota dari kelompok.

3. Tipe yang ketiga, disebut tipe Pemimpin Liberal atau Laizez – Failure, yaitu kebebasan tanpa pengendalian . pemimpin di sini tidak pernah memimpin bawahannya sepenuhnya. ia sendiri tidak pernah ikut serta dengan bawahannya, seolah-olah tanpa ikatan antara pemimpin dan bawahannya.

Menurut Alvi Bown ketiga tipe pemimpin ini dapat diperinci dan di golongkan sebagai berikut :

1. Pemimpin yang bersifat Otokratis (Authocratic Leaders), dibagi dalam :
a. Otokratik yang kaku rigid (Strict Authocrat).
b. Otokratik yang berkemauan baik (Benoolent Autochrat).
c. Otokratik yang belum mampu (Incompetent Authocrat).
2. Pemimpin yang bersifat Demokratis (Democratic Leaders) dibagi dalam :
a. Demokrat yang mumi (Genuine democract)
b. Demokrat yang semu (Pseudo democract).
3. Pemimpin yang bersifat Liberal atau Laizez – failure.

Berikut ini akan dijelaskan secara singkat ketiga tipe kepemimpinan AM Bown sebagai berikut :

a. Tipe Otokratis yang kaku/rigid (Strict Authocrat)
Sifat kelakuan itu karena menurut pendapat/prinsipnya, bahwa usahanya itu atas dasar perasaan tanggung jawab seseorang (a man one show). Oleh karena itu ia tidak melimpahkan wewenangnya kepada bawahannya. la bertindak atas prinsip “business is business”.

Yang dikehendaki adalah keuntungan pribadinya. Dikatakan, ” orang yang tidak bekerja , tidak dibayar (no work no pay) dan selalu berpedoman “waktu adalah uang”. Pemimpin Otokratis yang kaku/rigid ini biasanya terdapat dalam bidang niaga atau Industri. Dalam bidang ini pada umumnya sifat¬sifat pemimpin yang demikian ini dapat berhasil (success), sekalipun dengan pengorbanan terhadap unsur-unsur kemanusiaan.


b. Tipe Otokatis yang berkemauan baik (The Benevolent Authocrat).
Pemimpin yang bersifat demikian ia merasa bahwa ia mempunyai tanggung jawab moral kepada bawahannya, yang seolah-olah ia akan melakukan sesuatu yang baik. la menghendaki agar bawahannya melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, bukan dalam arti mereka (bawahan ) melakukan apa yang mereka kehendaki, tetapi dalam arti apa yang ia kehendaki dan inginkan. Tidak ada pertimbangan soal-soal material yang dapat memberikan keuntungan atau kerugian, tetapi yang penting mereka (bawahan) akan mendapatkan apa yang mereka peroleh dan kehendakinya. Kepentingan bawahan walaupun bagaimanpun tidak mendapat penghargaan/penilaian.

c. Tipe Otokratis yang belum mampu (The Incamponent).
Sifat-sifat pemimpin yang demikian itu dapat disamakan dengan apa yang disebut Managemen kekanak-kanakan (Baby in Management) Anak/Baby adalah banyak tingkah, tetapi tingkah lakunya karena ekstressiknya . penilaian baik dan buruk bersifat subjektif karena tergantung seluruhnya pada perasaanya. la merasa seorang yang berwenang/kuasa tetapi selalu kuatir karena perasaan itu.

Tipe pemimpin semacam ini tidak termasuk seorang yang kuat tetapi lemah mentalnya, sehingga ia selalu mengeluh ketidakpuasan dengan mengatakan bahwa tidak ada orang yang dapat diberikan kepercayaan atau tanggung jawab. Oleh karena itu, ia mencari daya upaya apapun asal tujuan tercapai.

d. Tipe Demokrasi yang Murni (The Genuine Democract)
Berlainan dengan tipe Otokrasi yang mendasarkan atas kekuasaan seseorang, tipe ini melakukan pimpinan pekerjaan atas kehendak yang dinginkan bersama dengan bawahannya. la menyadari bahwa pekerjaan bukanlah tanggung jawab pemimpin saja, oleh karena itu ia melimpahkan wewenangnya kepada semua tingkat pimpinan sampai tingkat terbawa sekalipun. Bawahan mengetahui apa yang harus mereka kerjakan, atas dasar kesadarannya, dengan tanpa keragua-raguan mereka melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, sekalipun pemimpin itu tidak berada di tempat Hal ini cukup menjamin bagi bawahan yang tidak selalu melaporkan kepada atasan apakah pekerjaan yang mereka lakukan mendapat pensetujuan atau tidak.

e. Tipe Demokratis yang semu (The Pseudo Democract)
Tipe kepemimpinan semacam ini tidak banyak berbeda dengan tipe kepemimpinan yang disebut managemen kekanak¬kanakan (Baby in Management), hanya bedanya tipe ini mempunyai sifat-sifat selalu adanya kehawatiran bahwa pekerjaan akan salah. Penuh emosi sehingga mudah tersinggung (Centimental) dan kadang-kadang mempunyai kegembiraan tanpa batas, seperti orang mabuk (convivial). la selalu berusaha menanamkan pengertian seolah-olah adanya rasa kesatuan diantara mereka, seperti “saudara-saudara kita bersama adalah satu keluarga”. ‘Kita bersama adalah senasib dan sepenanggungan”.

f. Tipe pemimpin yang Liberal (Laizez faire type of leader)

Tipe kepemimpinan liberal Laiizez faire artinya bebas tanpa ikatan . pemimpin yang mempunyai sifat-sifat liberal ini adalah pemimpin yang kurang bertanggung jawab pada kelompoknya. Bawahan dibiarkan berbuat sekehendaknya, tanpa adanya pengawasan/pengendalian. Segala sesuatu dipercayakan kepada bawahannya karena alasan kesibukannya. Pekerjaan bawahan kurang terarah, simpan siur karena tanpa ada pengarahan dan bimbingan.

Disamping tipe kepemimpinan di atas, berikut ini akan dikemukakan pendapat Rensis Likerts dengan teorinya yang terkenal sistem managemen dari pada Rensis Likerts (Likerts system of Management).

Likers telah mengembangkan suatu konsep tertentu dan pentingnya pendekatan untuk mengartikan perilaku kepemimpinan (Leadership behaviour). la memperkanalkan konsepnya yang disebut managemen partisipasi (parcitipative Management). Dalam garis besar hasil penelitiannya dan untuk kejelasan daripada konsepsinya, Likers menganggap adanya empat sistem dari pada managemen yaitu :

1. Sistem I management eksploitive auothiritative artinya kewenangan yang bersifat eksplostive atau kewenangan mutlak. Dalam sistem management seperti para pimpinan bersifat otokratis. Yang mendasarkan atas kehendak atau kemauan sendiri dari pimpinan Oleh karena itu, pemimpin yang demikian kurang mempercayai bawahan. la memberi motivasi terhadap bawahannya melalui ancaman dan hukuman, disertai kadang¬-kadang pemberian penghargaan. Suka melakukan komunikasi dari atas ke bawah dan sering memperlihatkan ciri-ciri yang semacam itu.
2. Sistem 2. management disebut benevolent Authoritative pada sistem management ini didasarkan atas kewenangan menurut kebaikan hati. Maksud kewenangan benevolent ini pemimpin ingin berbuat baik terhadap bawahannya. Oleh karena itu pimpinan memberikan kebebasan kepada bawahan dan menyerahkan kepercayaan sepenuhnya kepada bawahan, dengan memberikan motivasi berupa penghargaan (reword) dan kadang-kadang sekedar ancaman dan hukuman. la memberikan keleluasaan untuk melakukan komunikasi dari bawah ke atas dengan meminta ide dan pendapat dari bawahan.
3. Sistem 3, management konsultative para pemimpin pada hakekatnya tidak mempunyai kepercayaan sepenuhnya terhadap bawahannya, biasanya para pimpinan mencoba untuk mempergunakan ide dan pendapat bawahannya secara konstruktive (bersifat membangun). Menggunakan motivasi terhadap bawahan dengan suatu penghargaan, kadang-kadang hukuman dan kadang-kadang partisipasi. Melakukan kebijaksanaan yang lebih luas, pengambilan keputusan terhadap hal-hal yang bersifat umum dilakukan oleh pimpinan tingkat atas, sedangkan pengambilan keputusan yang bersifat khusus diserahkan kepada pimpinan tingkat bawah dan melakukan konsultasi dalam hal-hal yang lain bila diperlukan.
4. Sistem 4, management participative group atau kelompok partisipatif. Dalam sistem ini para pimpinan mempunyai kepercayaan sepenuhnya dalam semua hal/masalah kepada bawahannya, selalu ingin mendapat ide dan pendapat-pendapat dari bawahan dan mempergunakan secara konstruktif terhadap, mereka. Memberikan penghargaan yang bersifat ekonomis berdasarkan partisipasi kelompok dan melibatkan dalam bermacam- . macam bidang, misalnya penentuan sasaran dan penilaian kemajuan terhadap sasaran. Melakukan banyak komunikasi baik kebawah maupun, keatas. Mendorong pengambilan keputusan melalui seluruh jaringan organisasi dan mendorong melakukan kegiatan diantara mereka dan dengan bawahannya sebagai suatu kelompok.
Berdasarkan tipe-tipe kepemimpinan yang dikemukakan diatas, maka Hersey dan -Kenneth M. Blanchard berusaha menyatukan bersama pemikiran teori-teori utama untuk menjadi teori kepemimpinan situasional berdasarkan perilaku. Hersey dan Kenneth H. Blanchard mengemukakan empat tipologi pengikut terhadap empat gaya kepemimpinan. Karakteristik dan setiap gaya kepemimpinan tersebut dapat diuraikan secara singkat, sebagai berikut :


1. Gaya Direktif Pemimpin yang direktif pada umumnya membuat keputusan -keputusan penting dan banyak terlibat dalam pelaksanaannya. Semua kegiatan terpusat pada pemimpin, dan sedikit kebebasan orang lain untuk berkreasi dan bertindak yang diizinkan. Dengan kata lain, gaya pemimpin dengan pengarahan yang tinggi serta dukungan yang rendah. Pemimpin mengatakan kepada pengikut apa, bagaimana, kapan, dan dimana melakukan berbagai tugas_ Pengambilan keputusan sepenuhnya diprakarsai oleh manajer, Komunikasi sebagian besar berlangsung satu arah.

2. Gaya Konsultatif. Gaya ini dibangun diatas gaya direktif, lebih banyak melakukan Interaksi dengan para bawahan/staf dan anggota organisasi. Fungsi pemimpin lebih banyak berkonsultasi, memberikan bimbingan, motivasi, memberikan nasehat dalam rangka mencapai tujuan. Gaya kepemimpinan konsultatif mempuyai gaya yang pengarahannya tinggi serta dukungan tinggi. Pemimpin masih banyak memberikan pengarahan tetapi juga berusaha mendengar keluhan-keluhan bawahan/pengikut mengenai keputusan juga ide-ide dan saran dari bawahan. Kontrol terhadap pengambilan keputusan tetap pada pemimpin.

3. Gaya Partisipatif. Gaya partisipatf bertolak dari gaya konsultatif yang biasa berkembang kearah saling percaya antara pimpinan dan bawahan. Pemimpin cenderung memberi kepercayaan pada kemampuan staf untuk menyelesaikan pekerjaan sebagai tanggung jawab yang harus diselesaikan. Dalam gaya kepemimpinan ini lebih banyak mendengar, menerima, bekerja sama, dan memberi dorongan dalam proses pengambilan keputusan. Gaya kepemimpinan partisipatif, pemimpin memberikan dukungan yang tinggi dan pengarahan yang rendah. Kontrol terhadap pengambilan keputusan sehari-hari dan pemecahan masalah berpindah dari pemimpin kepada bawahan atau staf. Pemimpin memberikan penghargaan dan aktif mendengar serta menfasilitasi pemecahan masalah.

4. Gaya Delegatif. Yaitu gaya yang mendorong kemampuan staf untuk mengambil inisiatif . Kurang interaksi dan kontroi yang dilakukan oleh pemimpin sehingga gaya ini hanya berjalan apabila staf memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinan akan mengejar tujuan dan sasaran organisasi. Dengan kata lain gaya kepemimpinan ini memiliki dukungan yang rendah dan pengarahan yang rendah pula kepada bawahan_ Pemimpin mendiskusikan masalah-masalah dengan bawahan sampai dicapai kesepakatan bersama. Proses pengambilan keputusan di delegasikan sepenuhnya kepada bawahan.
D. Konsep Otonomi Daerah
Undang-undang No.22 tahun 1999 mensyaratkan pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah, bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah dengan titik berat pada daerah kabupaten. Secara etimoiogis kata desentralisasi berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas, dan Centrum yang berarti pusat. Dengan demikian desentralisasi berarti lepas dari pusat. Sedangkan istilah otonomi atau autonomie berasal dari bahasa Yunani yaitu dari kata auto yang berarti sendiri dan nomos berarti Undang¬undang. Jadi otonomi berarti mengatur dengan Undang-undang sendiri. Dengan demikian, pengertian otonomi adalah pemberian hak dan kekuasaan untuk membuat perundang-undangan dalam rangka pelaksanaan kewenangan pemerintahan.
Otonomi dalam pengertian orisinil adalah the legal self-sufficiency of social body and its actual independence. Jadi sesungguhnya ada dua ciri hakekat dari otonomi yakni legal self-sufficency dan actual independency. Sedangkan menurut Abdullah (2002) otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan perundang-undangan.


Otonomi daerah menurut Bintoro Tjokrohamidjojo (1995) adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Menurut Abdul Rahman (1985:11) Otonomi Daerah adalah hak mengatur dan memeratakan daerah sendiri atas inisiatif dan kemauan sendiri. Sedangkan Wajong (1975:5) mengemukakan Otonomi daerah adalah kebebasan untuk memelihara dan memajukan kepentingan umum didaerah dengan keuangan sendiri, meratakan hak sendiri dan kepentingan sendiri.
Dari pemahaman tentang otonomi daerah diatas, maka hakekat otonomi daerah adalah:


1. Hak mengurus rumah tangga sendiri bagi suatu daerah otonom, hak tersebut bersumber dari wewenang pangkal dan urusan-urusan pemerintah pusat yang diserahkan kedaerah. Istilah sendiri dalam hak mengatur dan mengurus rumah tangga merupakan inti keotonomian suatu daerah berupa penetapan kebijaksanaan sendiri, pelaksanaan sendiri serta pembiayaan dan pertanggung jawaban daerah sendiri.
2. Dalam kebebasan menjalankan hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri, daerah tidak dapat menjalankan hak dan kewenangan otonominya itu di luar batas-batas wilayah daerahnya.
3. Daerah tidak boleh mencapai hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain sesuai dengan wewenang pangkat dan urusan yang diserahkan kepadanya.
4. Otonomi daerah tidak membawahi otonomi daerah lain, hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri tidak merupakan subordinasi hak mengatur dan mengurus rumah tangga daerah lain.

Menurut Ryaas Rasyid (2002) Tujuan utama dari kebijakan/ desentralisasi dan otonomi Daerah tahun 1999 adalah, di satu pihak, membebaskan pemerintah pusat dari beban-beban yang tidak perlu dalam menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempeiajari, memahami, merespon berbagai kecendrungan global dan mengambil manfaat dari menangani urusan domestik, sehingga ia berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecendrungan global dan manfaat daripadanya. Pada saat yang sama, pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan makro nasional yang bersifat strategis.

Di lain pihak, dengan desentralisasi kewenangan pemerintah ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Kemampuan prakarsa dan kreatifitas mereka akan terpacu, sehingga kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kapabilitasnya dalam mengatasi berbagai masalah domestik akan semakin kuat. Desentralisasi merupakan symbol adanya trust (kepercayaan) dari pemerintah pusat kepada daerah. Ini akan dengan sendirinya mengembalikan harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Kalau dalam system sentralistik mereka tidak bias berbuat banyak dalam mengatasi berbagai masalah, dalam system otonomi ini mereka ditantang untuk secara kreatif menemukan solusi-solusi dari berbagai masalah yang dihadapi.
Kebijakan Otonomi Daerah merupakan proyek pengembalian harga diri pemerintah dan masyarakat daerah. Dimasa lalu, banyak masalah yang terjadi didaerah yang tidak tertangani secara baik karena keterbatasan kewenangan pemerintah daerah dibidang tertentu. Ini berkenaan antara lain dengan konflik pertanahan, pengelolaan pertambangan, kebakaran hutan, perizinan, investasi, kerusakan lingkungan, alokasi anggaran dari dana subsidi pemerintah pusat, penetapan prioritas pembangunan penyusunan organisasi pemerintahan yang sesuai kebutuhan daerah, pengangkatan dalam jabatan truktural, perubahan batas wilayah administrasi, pembentukan kecamatan, kelurahan dan desa, serta pemilihan kepada daerah. Sekarang dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, kewenangan itu didesentralisasi kedaerah. Artinya, pemerintah dan masyarakat di daerah dipersilahkan mengurus rumah tangganya sendiri secara bertanggung jawab.


Pemerintah pusat tidak lagi mempatronisasi, apalagi mendominasi mereka peran pemerintah pusat dalam konteks desentralisasi ini adalah melakukan supervisi, memantau, mengawasi, clan mengavaluasi petaksanaan Otonomi Daerah. Peran ini tidak ringan, tetapi juga tidak membebani daerah secara berlebihan. Karena itu, dalam rangka Otonomi Daerah diperlukan kombinasi yang efektif antara visi yang jelas serta kepemimpinan yang kuat dalam pemerintah pusat, dengan keleluasaan berprakarsa dan berkreasi dari pemerintah daerah.

Adapun visi Otonomi Daerah dapat dirumuskan dalam tiga ruang iingkup interaksinya yang utama, yaitu Politik Ekonomi, serta sosial dan Budaya.


Dibidang Politik, Otonomi Daerah adalah buah dari kebijakan desentralisasi dan demokratisasi, maka ia harus dipahami sebagai proses untuk membuka ruang bagi lahirnya kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis, memungkinkan berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap kepentingan masyarakat luas, dan memelihara suatu mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggung jawaban publik. Demokratisasi pemerintahan juga berarti transparansi kebijakan, artinya untuk setiap kebijakan yang diambil, harus jelas siapa yang memprakarsai kebijakan itu, apa tujuannya, beberapa ongkos yang harus dipikul, siapa yang di utungkan, apa resiko yang harus ditanggung, dan siapa yang harus bertanggung jawab jika kebijakan itu gagal. Otonomi Daerah juga berarti kesempatan membangun struktur pemerintahan yang sesuai dengan kebutuhan daerah, membangun system dan pola karir politik dan administrasi yang kompetitif, serta mengembangkan system manajeman pemerintahan yang efektif.’

Di bidang Ekonomi, Otonomi. Daerah di satu pihak harus menjamin lancarnya pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan di pihak lain terbukanya peluang bagi pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerahnya. Dalam konteks Otonomi Daerah akan memungkinkan lahirnya berbagai prakarsa pemerintah daerah untuk menawarkan pasilitas investasi, memudahkan proses perisinan usaha, dan membangun berbagai inpra struktur yang menunjang perputarabn ekonomi daerahnya.
Dengan demikian, Otonomi Daerah akan membawa masyarakat ketingkat kesejahteraan yang lebih tinggi dari waktu ke waktu.


Di bidang sosial dan Budaya, Otonomi Daerah harus dikelola sebaik mungkin demi menciptakan dan memelihara harmoni sosial, dan pada saat yang sama, memelihara nilai-nilai lokal, yang di pandang bersifat kondusif terdapat kemampuan masyarakat merespon dinamika kehidupan disekitarnya.

Berdasarkan visi diatas, maka konsep dasar Otonomi Daerah yang kemudian dihubungkan dengang Undang-undang 32 tahun 2004, merangkum hal-hal sebagai berikut :


1. Penyerahan sebanyak mungkin kewenangan pemerintahan dalam hubungan domestik kepada daerah, kecuali untuk bidang keuangan dan bidang moneter, politik luar negeri, peradilan, pertanahan, keagamaan, serta berbagai bidang kebijakan pemerintahan yang bersifat strategis nasional, maka pada dasarnya semua bidang pemerintahan yang lain dapat didesentralisasikan. Dalam kontes ini, pemerintahan daerah tetap terbagi atas dua ruang lingkup, bukan tingkat, yaitu daerah kabupaten dan kota yang diberikan status ekonomi penuh, dan provesi yang diberi status Otonomi terbatas. Otonomi penuh berarti tidak adanya operasi pemerintahan pusat untuk melakukan operasi di daerah propinsi ini alasan mengapa Gubernur propinsi, selain berstatus kepala daerah otonom. Juga sebagai wakil pemerintah pusat. Karena system otonomi tidak bertindak.

Hubungan propinsi dengan daerah kabupaten dan kota bersifat koordinatif, pembinaan dan pengawasan. Sebagai wakil pemerintah pusat, Gubernur mengkoordinasikan tugas-tugas pemerintah antar kabupaten dan kota dalam wilayahnya. Gubernur juga melakukan supervisi terhadap pemerintahan kabupaten atau kota atas pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah pusat. Serta bertanggung jawab mengawasi penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan Otonomi Daerah diwilayahnya.
2. Penguatan peran DPRD dalam pemilihan dan penetapan kepala daerah kewenangan DPRD dalam menilai keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan kepala daerah harus dipertegas Pemberdayaan fungsi-fungsi DPRD dalam bidang legislasi, representasi dan penyaluran aspirasi masyarakat harus dilakukan. Untuk itu, optimalisasi hak-hak DPRD perlu diwujudkan, seraya menambah alokasi anggaran untuk biaya operasinya Hak penyelidikan DPRD perlu dihidupkan hak prakarsa perlu diaktifkan, dan hak bertanya perlu didorong. Dengan demikian produk regislasi akan dapat ditingkatkan dan pengawasan politik terhadap jalannya pemerintahan bisa diwujudkan.
3. Pembangunan tradisi politik yang lebih sesuai dengan kultur setempat demi menjamin tanpilnya kepemimpinan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas yang tinggi pula.
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki agar lebih sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara dengan taeban yang dipikul, selaras dengan kondisi daerah, serta lebih responsif terhadap kebutuhan daerah. Dalam kaitan ini juga, diperlukan terbangunnya suatu system administrasi dan pola karier kepegawaian daerah yang lebih sehat dan kompotitif.
5. Peningkatan efesiensi keuangan administrasi daerah serta pengaturan yang lebih jelas atas sumber-sumber pendapatan negara dan daerah, pembagian revenue (pendapatan) dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam, pajak dan retribusi, serta tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fiscal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block grant, pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah, pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan perioritas pembangunan, serta optimalisasi upaya pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadaya pembangunan yang ada.
7. Pembinaan dan pemberdayaan lembaga-lembaga dan nilai-nilai lokal yang bersifat kondusif terhadap upaya memelihara harmoni sosial sebagai suatu bangsa.
Untuk menjamin suksesnya pelaksanaan konsep Otonomi Daerah tersebut, diperlukan komitmen yang kuat dan kepemimpinan yang konsisten dari pemerintah pusat. Dari daerah juga diharapkan lahirnya pemimpin-pemimpin pemerintahan yang demokratis. DPRD yang mampu menjembatani antara tuntutan masyarakat yang mampu memobilisasi dukungan terhadap kebijakan yang menguntungkan masyarakat luas, kebijakan ekonomi yang berpihak pada pembukaan lapangan kerja dan kemudahan berusaha, serta berbagai pendekatan sosial dan budaya yang secara terus menerus menyuburkan harmoni dan solidaritas antar warga.
Ada beberapa ciri khas yang menonjol pada pelaksanaan Otonomi Daerah, yaitu antara lain:
1. Demokrasi dan demokratisasi. Diperlihatkan dalam dua hal utama, yaitu pertama mengenal reqritment pejabat pemerintah daerah, dan yang kedua adalah yang menyangkut proses legislasi di daearah, yang menyangkut rekritment di daerah. Undang-undang ini memberikan kewenangan sepenuhnya kepada masyarakat di daerah baik di propinsi ataupun di kabupaten dan kota. Tidak ada lagi campur tangan pemerintah pusat melalui Departemen Dalam Negeri, Menteri Sekretaris Negara dan Panglima TNI. Siapa saja yang akan menjadi Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/wakil Bupati, Walikota/wakil Walikota sepenuhnya diserahkan kepada masyarakat daerah untuk menentukannya. Jelas ini merupakan usaha untuk memperdayakan masyarakat di daerah.

Diharapkan dengan mekanisme yang baru ini maka masyarakat di daerah lebih memiliki kepercayaan dan memberikan dukungan yang kuat kepada para pemimpinnya, terutama Gubernur/wakil Gubernur, Bupati/wakil Bupati, Walikota/Wakil Walikota, karena para pejabat tersebut merupakan figur-figur yang mereka pilih sendiri dan mereka percayakan untuk menyelenggarakan pemerintahan di lingkungan mereka. Diharapkan lebih jauh agar penyelenggaraan pemerintahan akan membawa hasil guna dan daya guna yang di harapkan dimasa-masa yang akan datang.

Dalam hal proses dan regulasi di daerah, terjadi put perubahan yang sangat menonjol. Semua peraturan daerah, yang dikeluarkan oleh pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota tidak lagi disahkan pusat melalui Departemen Dalam Negeri RI. Begitu DPRD menyetujui rancangan PERDA dan Gubernur/Bupati/Walikota mengesahkannya maka dengan sendirinya menjadi PERDA, tidak lagi menunggu pengesahan dari Jakarta jelas, ini berbeda sekali dengan mekanisme yang diperlakukan sebelumnya melalui undang-undang No. 5 tahun 1974.
2. Mendekatkan Pemerintah dengan rakyat. Salah satu yang menonjol dari undang-undang Otonomi Daerah yang baru ini adalah titik berat ekonomi daerah diletakkan kepada daerah kabupaten dan kota. Bukan kepada daerah propinsi dengan demikian, di harapkan pelayanan dan periindungan yang diberikan kepada rakyat dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Tentu saja yang harus diantisipasi adanya kenyataan bahwa tidak semua daerah kabupaten dan kota memiliki potensi ekonomi dan sosial yang sama dan memiliki basis yang kuat. Ada daerah memiliki sumber daya manusia yang sangat besar seperti beberapa kabupaten dan kota, sebaliknya ada pula sejumlah daerah kabupaten dan kota yang memiliki basis sosial ekonomi yang sangat terbatas.
Ada kota penduduknya kurang dari 50.000 jiwa, dengan tingkat pendidikan dan kapasitas ekonomi yang jauh dari memadai. Was wilayah pemerintahannya hanya terdiri dari dua atau tiga kecamatan. Akan tetapi ada pul sejumlah kota yang dangat potensial , dengan luas wilayah pemerintahan yang sangat besar. Tentu saja, semuanya ini akan berpengaruh terhadap kinerja dari masing-masing daerah otonomi didalam memberikan pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat di lingkungannya
3. Sistem Otonomi Was dan nyata. Kalau Undang-undang No. 5 tahun 1974 menganut system Otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab, maka Undang-undang Otonomi Daerah menganut sistem zotonomi luas dan nyata. Dengan sistem ini pemerintah daerah berwenang untuk melakukan apa saja yang menyangkut
penyelenggaraan pemerintahan, kecuali lima hal: (1) politik luar negeri, (2) Pertahan dan Keamanan, (3) Moneter, (4) sistem Peradilan, dan (5) Agama . akan tetapi daerah juga harus memahami potensi yang secara real yang mereka miliki sehingga otonomi yang luas tidak diperlakukan begitu saja, misalnya dengan membentuk semua Dinas dan fungsi pelayanan yang belum tentu secara nyata didukung oleh kondisi sosial, ekonomi dan keuangan di daerah masing-masing. Undang-undang No. 5 tahun 1974 sekalipun menganut sistem Otonomi yang nyata , dinamis, dan bertanggung jawab, dalam kenyataannya warna sentralisasi sangatlah menonjol yang diperhalus dengan munculnya mekanisme Dekosentrasi dan kehadiran sejumlah lembaga pemerintah Pusat di Daerah baik di tingkat propinsi ataupun Kabupaten dan kota.
4. Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat. Hal lain yang perlu dicatat dari keberadaan Undang-undang Otonomi Daerah ini adalah tidak diberlakukannya sistem Otonomi Daerah yang bersifat bertingkat dan residual seperti yang dikenal dengan Undag-undang No. 5 tahun 1974. hal ini diperlihatkan dengan adanya Daerah Tingkat 1 di propinsi, dan Daerah tingkat II di kabupaten dan Kotamadya dalam sistem ini , daerah-daerah ada tingkat yang lebih rendah menyelenggarakan urusan urusan yang sifatnya residual, yaitu yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah Daerah yang lebih tinggi tingkatannya.
Pejabat Pemerintah Daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada didaerah otonom yang lebih rendah. Ha ini sudah berbeda sama sekali Karen Undang-undang Otonomi Daerah tidak mengenal sistem otonomi bertingkat dan residual. Gubernur sebagai kepala daerah di propinsi tidak secara otomatis menjadi atasan para Bupati dan Walikota di propinsi tersebut. Sementara itu yang menjadi kewenangan propinsi adalah menyelenggarakan urusan-urusan yang sifatnya Lintas Kabupaten dan lintas Kota”.
5. Penguatan Masyarakat Melalui DPRD. Undang-undang No.22 tahun 199 membuka peluang yang sangat besar bagi penguatan masyarakat dengan diperkuatnya Dewan Perwakilan Rakyat propinsi, Kabupaten, dan kota. Penguatan tersebut baik dalam proses rekruitmen politik local ataupun dalam perbuatan kebikajsanaan publik di daerah. Kalau pada masa-masa sebelumnya kebijaksanaan publik di daerah merupakan domain sekelompok kalangan elit politik local, maka pada masa yang akan datang partisipasi masyarakat semakin meluas dalam menentukan, pemerintah harus melakukan apa dengan cara kepada rakyat di daerah. Hal itu dapat digambarkan secara mendetail dalam konteks hubungan antara legislative dan eksekutif di daerah.
E. Presfektif Pelaksanaan Otonomi Daerah
Landasan penyelenggaraan pemerintahan di daerah muncul sejak proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Pasal 18 Undang-undang Dasar 1945, secara tegas menyatakan bahea” Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya di tetapkan dengan undang-undang”.

Berdasarkan pasal tersebut di atas, kemudian telah silih berganti lahir berbagai peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan di daerah seperti, Undang-undang No. 1 tahun 1945, Undang-undang N0. 18 tahun 1948, Undang-undangNo.22 tahun 1949, Undang-undang No. 18 tahun 1965, Undang-undang No. 5 tahun 1974, No.22 tahun 1999 dan Undang-undang yang baru lahir yaitu Undang-undang No 32 Tahun 2004

Lahirnya Undang-undang di atas, dipicu oleh adanya tuntutan akan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang sesuai dengan karakteristik daerah, tetapi juga bertentangan penyelenggaraan pemerintahan pada tingkat yang lebih tinggi. Selama pemerintahan Orde Baru, pada prinsipnya penyelenggaraan pemerintahan di daerah belum menemukan bentuknya yang ideal sesuai dengan harapan masyarakat di daerah.
Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang selama ini dilaksanakan di Indonesia, pola-pola lama yang bersifat sentralistik harus diubah kearah yang lebih demokratis yang melibatkan partisipasi masyarakat dan bersifat desentralistik. Dalam melaksanakan pembangunan sekarang ini masyarakat seharusnya ditempatkan sebagai mitra pemerintah yang diiberi peran lebih besar, sedangkan posisi pemerintah lebih ditekankan sebagai regulator dan fasilitator untuk menciptakan iklim kondusif dalam mewadahi proses interaksi kehidupan masyarakat agar berjalan dengan tertib, terkendali dan lebih demokratis.
Lahirnya Undang-undang No.32 tahun 2004, mensyaratkan pelaksanaan pemerintahan daerah yang lebih otonom dan bersifat desentralistik dengan titik berat pada pemerintahan kabupaten dan kota. Disamping itu penyelenggaraan pemerintahan di daerah melalui kebijakan otonomi daerah tertuang dalam suatu ketetapan MPR yaitu TAP MPR RI Nomor. IV/MPR/2000, diarahkan kepada pencapaian sasaran sebagai berikut ;
1. Peningkatan pelayanan publik dan pengembangan kreativitas masyarakat serta aparatur pemerintah di daerah.

2. Kesetaraan hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dan antar pemerintah daerah dalam kewenangan dan keuangan.
3. Untuk menjamin peningkatan rasa kebangsaan, demokrasi dan kesejahteraan masyarakat di daerah.
4. Menciptakan ruang yang lebih luas bagi kemandirian daerah.

Dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, yang dilandasi dengan semangat Otonomi Daerah, maka akan memberi peluang yang besar bagi terciptanya kehidupan pemerintahan dan kebangsaan yang dicita citakan, yaitu: (1) Meningkatkan kualitas demokrasi, (2) Terciptanya sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang lebih efektif dan efesien, (3) Memacu kreatifitas daerah dalam mengembangkan potensinya dan fungsi pelayanan kepada masyarkat , (4) Memacuh pemberdayan aparatur pemerintahan dalam pembangunan, (5) Memacuh perwujudan institusi yang lebih fleksibel, inovatif, dan meningkatkan moral serta komitmen pada produktivitas yang tinggi.

Disamping itu dalam penyelenggaraan otonomi daerah bermunculan berbagai tantangan, diantaranya belum memadainya berbagai peraturan pelaksanaan, karakteristik potensi daerah yang tidak sama antar daerah yang satu dengan daerah lain di Indonesia, kesiapan sumber daya manusia yang relatif masih sangat rendah, dan keterbatasan dalam memiliki infra struktur ekonomi yang berpengaruh terhadap penyelenggaraan Otonomid Daerah.
Berdasarkan tantangan yang muncul seperti di atas dan diikuti dengan berbagai kendala seperti, lemahnya komitmen untuk menjalankan sikap ketergantungan daerah yang tinggi, terjadinya kesenjangan antara pusat dan daerah maupun antar daerah, serta munculnya presepsi yang belum seragam dalam memahami Otonomi Daerah.
Sementara hakekat sebenarnya dari otonomi daerah adalah bagaimana memandirikan daerah, oleh karena itu perlu kemampuan dan kreatifitas dari daerah-daerah untuk menggali dan mengembangkan potensi yang dimiliki, sehingga dapat mencegah ketergantungan secara terus menerus. Kapasitas pemerintah daerah dalam wacana ini sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah hendaknya menjadi kreator clan motivator bagi pembangunan daerah secara professional.
Salah satu jalan untuk itu ialah dengan menciptakan kebijakan yang memungkinkan lahir dan berkembangnya prakarsa aparat, masyarakat dan dunia usaha untuk berperan lebih aktif dalam setiap proses pembangunan.
Melalui Otonomi Daerah diharapkan akan mempercepat pertumbuhan dan pembangunan daerah, disamping menciptakan keseimbangan pembangunan antar daerah, kebijaksanaan pembangunan yang sentralistik dampkanya sudah dirasakan oleh masyarakat, yaitu ketimpangan antar daerah dalam pembangunan. Sehingga Otonomi Daerah bisa cepat dan merata di seluruh wilayah tanah air Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Rosali, 2000. Pelaksanaan Otonomi Luas dan isu Federalisme sebagai suatu alternatif. PT. Raja Grafinda persada, Jakarta
Arikunta, Suharsimi, 1998, Prosedur penelitoian suatu pendekatan praktek, Rineka Cipta, Jakarta
Gany, Radi. A, 2001, Menyongsong abad baru dengan pendekatan pembangunan berbasis kemandirian local, Hasanuddin Universiti pres; Makassar.
Hasibuan,malayu,s p1999,Organisasi dan Motivasi, dasar Peningkatan Produktipitas, bumi aksara Jakarta.
Handayaningrat, Soewarno, 1984, Pengantar Studi Ilmu Administrasi dan Manajemen CV. Haji Masagung,Jakarata.
Irmansyah Mamat, R,1987, Ilmu Administrasi Dan Manajemen, Armico, Bandung.
J. Kaloh, 2002, Mencari Bentuk Otonomi Daerah, Suatu Solusi Dalam Menjawab Kebutuhan Lokal dan Tantangan Global, Rineka Cipta, Jakarta.
Kaho J, Riwu, 1991, Prospek Otonomi Daerah Dinegara Repoblik Indonesia, Identifikasi beberapa factor yang berpengaruh pada pelaksanaannya, Rajawali Press, Jakarata.
Kartono Kartini. 1986. Pemimpin dan Kepemimpinan. CV. Rajawali Press. Jakarta
Moekijat, 1984, Prinsif-Prinsif Administrasi Manajemen dan Kepemimpinan, Alumni, Bandung
Propenas 2000-2004. Undang-Undang No.25 Tahun 2000. Program Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004. Sinar Grafika, Jakarta.
Syaukani, HR. Afan Gaffar, Ryaas Rasyid. 2002 Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Salusu J. 1996. Pengambilan Keputusan Untuk Organisasi Publik dan Organisasi Nonprofit. Grasindo.Jakarta.
Siagian, S.P, 1985, Proses Pengolahan Pembangunan Nasional, PT. Gunung Agung, Jakarta.
________,1996, Filsafat Administrasi, PT Gunung Agung, Jakarta.
________,1994,Teori dan praktek kepemimpinan, Rineka cipta, Jakarta
Singaribun,Masri, Effendi, Sofyan,1995, Metode Penelitian Survey ,LP3S, Jakarta
Sumodiningrat, Gunawan,2000,Arus bawah demokrasi Otonomi dan pemberdayaan desa, lapera pustaka utama ,Jakarta
Suwarsono, Alvin Y So. 1994. Perubahan Sosial dan pembangunan di Indonesia,LP3Es.Jakarta
Sutarto. Agustus 2000. Dasar dasarOrganisasi. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Sugiyono, 1999. Metode Penelitian Administrasi.Alfabeta, Bandung
Sotopo, Hendiyat Sumantri, 1984. Kepemimpinan dan Supervisi Pendidikan, Bina Aksara, Jakarta
Shwan Tyson & Tonny Jackson” Perilaku Organisasi 2000. Penerbit Andi Yogyakarta
Syafruddin, Ateng. 1983, Pasang Surut Otonomi Daerah, Bina Cipta, Bandung
Tambunan, Tulus,1998, Krisis ekonomi dan Masa depan Bangsa, UI Press, Jakarta
Tilaar, A R H 1997. Pengembangan Sumber Daya Manusia dalam Era Globalisasi, Grasindo, Jakarta
Thoha, Miftah, 1994. Kepemimpinan dalam Manajemen. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
______1983, Perilaku Organisasi ,CV. Rajawali, Jakarta
Tjokroamidjojo Bintoro, Sofyan Arief Miman , Machmud Muchtar. 1994. Administrasi pembangunan, Depdikbud. Jakarta
Tjokroamidjojo, Bintoro, 1981, Perencanaan Pembangunan, PT. Gunung Agung, Jakarta
Uchjana Efendy Onong, 1984. Ilmu Komunikasi Teori dan Oraktek. Remaja Rosdakarya, Bandung
Umar, Husaini, 1996, Metode Penelitian Sosial, Bumi Aksara, Jakarta

Undang – Undang Republik Indonesia 1999. Pemerintahan Daerah, Sekretariat Negara RI. Jakarta

Undang – Undang Nomor 25 Tahun 2000, Tentang Program

Pembangunan Nasional Tahun 2000-2004, Sinar Grafika, Jakarta
Pamudji, S. 1998. Ekonomi Administrasi Negara, Bumi Aksara, Jakarta.
Pedoman Penulisan Tesis dan Disertasi,2003. Program Pasca Sarjana, Universitas Hasanuddin Makassar.

Widjaja A,W,1988, Titik Berat Otonomi Daerah pada tingkat II, Raja Grafindo Persada, Jakarta
Yudoyono, Bambang, 2001,Otonomi Daerah desentralisasi dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Aparatur Pemda dan Anggota DPRD, Sinar Harapan, Jakarta

0 Post a Comment: